• News

    Balada Penari Jalanan di Kota Jogja

    Mereka konon datang dari wilayah-wilayah tetangga sekitar Jogja, muncul sendiri-sendiri atau dalam rombongan kecil. Nampak sebagian dari mereka memang memiliki kemampuan luwes beratraksi seni tari dan mungkin juga terbiasa manggung. Sepinya order manggung dan minimnya pendapatan, itulah yang diduga mendorong mereka turun ke jalanan Jogja, berubah menjadi penari jalanan di perempatan-perempatan.

    Pemerintah daerah di wilayah Jogja sudah berkali-kali memberikan himbauan kepada masyarakat, agar tidak memberikan apresiasi dalam bentuk uang kepada para pengamen di jalanan. Para pengamen tersebut tak hanya terdiri atas penari tradisional, tetapi juga anak-anak, orang tua, difabel, dan kelompok remaja punk. Sebagian sama sekali tak menawarkan hiburan, hanya semata menengadahkan tangan dan meminta belas kasihan.

    Penari jalanan di perempatan Demak Ijo Jogja
    Kehadiran mereka, apalagi jika nampak kusut dan 'menyeramkan', dirasa cukup mengganggu pengendara mobil, meski sejauh ini tak ada laporan mengenai perusakan mobil atau kendaraan yang memolak memberi uang receh. Masyarakat patut bersyukur, kehadiran mereka relatif masih sopan dan tak memaksa.

    Dibanding ibu-ibu yang mengeksploitasi anak kecil yang digendong dibawah terik matahari, dan meminta sumbangan pada mobil motor yang terhenti lampu merah, para penari jalanan memiliki kekhasan kareakter. Mereka benar-benar menari, berbusana dan bahkan menggunakan riasan seperlunya, meski hanya dalam durasi waktu sekejap, dan diiringi musik dari alat tabuh minimalis.

    Biasanya mereka tampil berdua, seorang menari di hadapan penonton, seorang lagi duduk di trotoar menabuh alat gamelan sederhana secara berirama. Penari pengamen ada yang memakai topeng, ada juga yang tidak, tetapi biasanya menggunakan riasan bak punakawan dalam pagelaran wayang orang. Beberapa penari bahkan kadang menggunakan pecut yang bersuara keras, dan dapat mengagetkan penonton yang menyaksikan.

    Bagaimanapun, peraturan adalah peraturan. Kehadiran para pengamen jalanan ini dianggap melanggar peraturan dan harus ditertibkan, sehingga berbagai razia dan penertiban dilakukan. Tapi ternyata penertiban seolah tak memberi dampak yang berarti, karena para pengamen -tak hanya penari jalanan- terus ada, bahkan hingga di pusat kota Jogja, seperti di perempatan Tugu.

    Para penari jalanan, meski sudah ditertibkan dan dibina, terus muncul dari waktu ke waktu. Kerepotan yang dialami para penegak aturan, diantaranya karena ternyata yang muncul orangnya berbeda-beda, mungkin karena banyaknya penari yang tertarik turun ke jalan.

    Di sisi lain, para pengemudi kendaraan nampaknya juga tak pernah benar-benar tega untuk menganggap mereka sebagai pengganggu, sebab para pengamen juga sedang mencari nafkah. Tanggapan ini sedikit berbeda jika ditujukan kepada para pengeksploitasi bayi, atau peminta-minta tulen.

    Meski sebenarnya profesi para penari jalanan ini relatif berbahaya dan dapat mengganggu lalu-lintas, realitanya mereka ada di seputaran Jogja.